Senin, 09 April 2012

Penolakan RUU Dikti Bentuk Trauma UU BHP

Anggota Panitia Kerja RUU Pendidikan Tinggi (Dikti) Tubagus Dedi Gumelar mengatakan penolakan sejumlah pihak atas RUU Dikti adalah tindakan emosional.

Dedi menduga para pihak itu mengalami trauma psikologis karena mengingat proses UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kontroversial.

Menurutnya, RUU Dikti adalah kemajuan dalam pengelolaan perguruan tinggi (PT). Aturan dalam RUU Dikti berpihak kepada rakyat, misalnya masyarakat akan dibebaskan dari biaya seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN).


RUU Dikti juga mengatur bantuan operasional dari pemerintah baik untuk PTN maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Besar biaya operasional adalah 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan.

"Teman-teman jangan ikut-ikutan menolak tapi tidak membaca isinya seperti apa," ujarnya kepada SP, Kamis (5/4).

Dedi mengatakan inisiatif DPR untuk membuat UU Dikti tidak lepas dari keinginan untuk menjamin tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.

Menurutnya, tidak ada permasalahan dasar hukum. Pengaturan pendidikan tinggi lewat UU justru memiliki kekuatan hukum lebih besar daripada hanya peraturan pemerintah (PP).

"Kalau hanya PP maka implikasi terhadap APBN tidak signifikan. Jadi kita paksa negara untuk membiayai sesuai amanat konstitusi, dasar pijakan Pancasila dan UUD 1945. Negara wajib membiayai," katanya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menegaskan RUU Dikti sangat prokerakyatan. Draf terakhir RUU Dikti menjamin keterbukaan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk masuk ke PTN.

Selain itu, PTN juga diminta aktif untuk memenuhi alokasi 20% mahasiswa miskin.

Nuh mengatakan RUU Dikti berbeda dengan UU BHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2010. Jika UU BHP menyeragamkan bentuk lembaga pendidikan menjadi badan hukum, RUU Dikti justru memfasilitasi variasi bentuk PTN.

Mendikbud mengatakan RUU Dikti menghapus komersialisasi pendidikan lewat prinsip nirlaba. Artinya, PTN otonom sekalipun dilarang mencari keuntungan, namun dana yang didapat PTN harus dialokasikan kembali untuk kepentingan pendidikan.

Selain itu, RUU itu mewajibkan otonomi PT dilakukan secara akuntabel, transparan, berorientasi mutu, serta efektif dan efisien.

"Saya optimistis terhadap UU Dikti, Insya Allah baik karena saya cermati betul-betul prokerakyatan dan sangat fair. Saya belum menemukan keberatannya. Kalau ada yang protes mungkin karena dia belum membaca drafnya," kata Nuh di Jakarta, Rabu (4/4).

0 komentar:

Posting Komentar