Anggota Panitia Kerja RUU Pendidikan
Tinggi (Dikti) Tubagus Dedi Gumelar mengatakan penolakan sejumlah pihak
atas RUU Dikti adalah tindakan emosional.
Dedi menduga para pihak itu mengalami trauma psikologis karena mengingat
proses UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kontroversial.
Menurutnya, RUU Dikti adalah kemajuan dalam pengelolaan perguruan tinggi
(PT). Aturan dalam RUU Dikti berpihak kepada rakyat, misalnya
masyarakat akan dibebaskan dari biaya seleksi masuk perguruan tinggi
negeri (PTN).
RUU Dikti juga mengatur bantuan operasional dari pemerintah baik untuk
PTN maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Besar biaya operasional adalah
2,5% dari anggaran fungsi pendidikan.
"Teman-teman jangan ikut-ikutan menolak tapi tidak membaca isinya seperti apa," ujarnya kepada SP, Kamis (5/4).
Dedi mengatakan inisiatif DPR untuk membuat UU Dikti tidak lepas dari
keinginan untuk menjamin tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan
pendidikan.
Menurutnya, tidak ada permasalahan dasar hukum. Pengaturan pendidikan
tinggi lewat UU justru memiliki kekuatan hukum lebih besar daripada
hanya peraturan pemerintah (PP).
"Kalau hanya PP maka implikasi terhadap APBN tidak signifikan. Jadi kita
paksa negara untuk membiayai sesuai amanat konstitusi, dasar pijakan
Pancasila dan UUD 1945. Negara wajib membiayai," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menegaskan
RUU Dikti sangat prokerakyatan. Draf terakhir RUU Dikti menjamin
keterbukaan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk masuk ke PTN.
Selain itu, PTN juga diminta aktif untuk memenuhi alokasi 20% mahasiswa miskin.
Nuh mengatakan RUU Dikti berbeda dengan UU BHP yang sudah dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2010. Jika UU BHP menyeragamkan
bentuk lembaga pendidikan menjadi badan hukum, RUU Dikti justru
memfasilitasi variasi bentuk PTN.
Mendikbud mengatakan RUU Dikti menghapus komersialisasi pendidikan lewat
prinsip nirlaba. Artinya, PTN otonom sekalipun dilarang mencari
keuntungan, namun dana yang didapat PTN harus dialokasikan kembali untuk
kepentingan pendidikan.
Selain itu, RUU itu mewajibkan otonomi PT dilakukan secara akuntabel, transparan, berorientasi mutu, serta efektif dan efisien.
"Saya optimistis terhadap UU Dikti, Insya Allah baik karena saya cermati
betul-betul prokerakyatan dan sangat fair. Saya belum menemukan
keberatannya. Kalau ada yang protes mungkin karena dia belum membaca
drafnya," kata Nuh di Jakarta, Rabu (4/4).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar