UU Pendidikan Kedokteran merupakan undang-undang yang mengatur
pendidikan dan profesi kedokteran Indonesia. Saat ini DPR bersama
Pemerintah sedang merumuskan RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam perumusan
RUU Pendidikan Kedokteran ini, DPR juga turut menyertakan Ikatan Dokter
Indonesia, Direktur Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Kedokteran,
Konsil Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran Indonesia, dan Kolegium
Kedokteran Gigi Indonesia.
Selain itu, DPR juga melibatkan mahasiswa yang merupakan subjek dari
pendidikan tersebut. Semua pihak berusaha dilibatkan agar UU Pendidikan
Kedokteran ini nantinya dapat membawa kepentingan semua pihak.
Diharapkan pula dapat tercipta undang-undang yang memang membawa
perubahan pada pendidikan kedokteran Indonesia saat ini sehingga dapat
memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Ini merupakan pertama kalinya RUU Pendidikan Kedokteran dibuat. RUU
Pendidikan Kedokteran ini dibuat karena belum adanya aturan yang jelas
mengenai proses pendidikan dan profesi kedokteran di Indonesia. Salah
satu dampak tidak langsungnya adalah penyebaran kesempatan pendidikan
kedokteran yang tidak merata di Indonesia yang menimbulkan komplikasi ke
penyebaran tenaga medis yang tidak merata di setiap daerah di Tanah Air
Indonesia.
RUU Pendidikan Kedokteran akan disahkan pada tanggal 27 Maret 2012.
Mengapa hal ini perlu dibahas? Sayangnya, pendidikan kedokteran di
Indonesia tidak seindah yang kita pikirkan. Penulis sempat berdiskusi
dengan Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K), direktur
utama RSCM (rumah sakit pendidikan FKUI), mengenai urgensinya dibuat
RUU Pendidikan Kedokteran ini. Pendidikan kedokteran Indonesia ternyata
dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Beberapa contoh kongkret kondisi,
yang menjadi highlight kami, sehingga kami berharap RUU ini dapat membawa angin perubahan pada pendidikan kedokteran Indonesia.
Kompetensi lulusan fakultas kedokteran di Indonesia tidak merata.
Terbukti dari hasil UKDI yang diadakan setiap tahun sejak tahun 2007.
Pada tahun 2011 (UKDI XVII, agustus 2011) jumlah peserta yang mengikuti
UKDI sebanyak 1747 orang, dengan presentase yang lulus pada ujian
pertama 58,56% sedangkan yang lulus pada ujian mengulang hanya 9,06%. DPR
sempat beranggapan bahwa UKDI lebih baik ditiadakan, yang telah lulus
dari fakultas kedokteran segera menjadi dokter. Tapi melihat bukti
diatas, etiskah UKDI ditiadakan? Memang Indonesia masih membutuhkan
banyak dokter, tapi sudah sangat jelas bahwa banyak lulusan fakultas
kedokteran yang belum mempunyai kompetensi yang sesuai untuk menjadi
dokter. Apa jadinya jika masyarakat diobati dengan dokter “jadi-jadi”an?
Pemerintah pun bersikukuh UKDI tetap diadakan dan dimasukkan kedalam UU
Pendidikan Kedokteran.
Banyak fakultas kedokteran dibuat sebagai ajang komersil. Siapa yang
tidak tahu biaya untuk dapat berkuliah di fakultas kedokteran sangat
mahal. Itu terjadi hampir di semua fakultas kedokteran di Indonesia.
Mahalnya biaya pendidikan tidak diikuti dengan kualitas dan sumber daya
yang memadai. Masih banyak fakultas kedokteran yang memiliki ketimpangan
antara jumlah tenaga pendidik dengan jumlah mahasiswanya. Sebagai
contoh, terdapat fakultas kedokteran yang hanya memiliki tenaga pendidik
35 orang tetapi menerima 200-400 mahasiswa baru.
Penyebaran dokter di Indonesia belum merata. Hampir 30 persen
Puskesmas mengalami kekosongan dokter, terutama di daerah rural. Hal ini
disebabkan tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja
bagi dokter dan dokter spesialis. Salah satu cara mengurangi
ketidakmerataan persebaran tersebut adalah dengan program wajib
internship.
Permasalahan lainnya adalah pendidikan sub-spesialis belum diakui di
Indonesia. Program pendidikan kedokteran subspesialis bertujuan untuk
menyediakan tenaga dokter dan konsultan yang kompeten. Adanya program
pendidikan ini juga untuk memenuhi kebutuhan dokter sub-spesialis di
rumah sakit tersier atau rumah sakit rujukan. Jika program pendidikan
sub-spesialis tidak ada, maka Indonesia akan kekurangan dokter
konsultan. Hal itu juga akan memicu masyarakat berobat ke luar negeri
atau masuknya sub-spesialis asing ke Indonesia.
Melihat kondisi di atas yang terbilang cukup urgent, DPR pun
menetapkan RUU Pendidikan Kedokteran menjadi prioritas tahun 2012,
selain RUU Perguruan Tinggi. Lalu, apa peran mahasiswa kedokteran
sebagai subjek pendidikan? Apakah diam, menerima saja undang-undang yang
dibuat DPR dan Pemerintah?
Mahasiswa FKUI tidak tinggal diam! BEM IKM FKUI bekerjasama dengan ISMKI menggalakkan gerakan “Seribu Suara FKUI untuk RUU Pendidikan Kedokteran”.
Gerakan ini bermula dari kajian RUU Pendidikan Kedokteran yang
dilakukan Dept. Pendidikan & Profesi dan Dept. Kajian dan Aksi
Strategis BEM IKM FKUI. ISMKI yang merupakan wadah perkumpulan BEM FK
Se-Indonesia berusaha merangkul semua mahasiswa FKUI untuk turut serta
dalam pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran ini. Seluruh mahasiswa FKUI
pun diminta untuk mengisi kuesioner dan mengkritisi isi RUU Pendidikan
Kedokteran yang dianggap sangat berpengaruh pada pendidikan kedokteran.
Itu merupakan bentuk nyata aksi mahasiswa FKUI yang perduli terhadap
kelangsungan pendidikan dan profesi kedokteran di Indonesia.
sumber: anakUI.com
Senin, 02 April 2012
Seribu Suara FKUI untuk RUU Pendidikan Kedokteran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar