Kamis, 05 April 2012

Titi Anggraini: Sistem Pemilu Tertutup Paling Cocok untuk Indonesia

Jakarta Fraksi-fraksi di DPR tengah mendebatkan sejumlah pasal krusial di revisi UU Pemilu. Salah satunya tentang sistem pemilu di Indonesia. Nah, melihat kondisi Indonesia saat ini Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai sistem pemilu proporsional tertutup lebih cocok.

"Sistem proporsional tertutup saya kira lebih banyak keuntungannya jika melihat fenomena politik Indonesia saat ini," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Titi, Kamis (5/4/2012):

Fraksi-fraksi di DPR berdebat soal substansi revisi RUU Pemilu, salah satunya soal sistem pemilu. Menurut Anda, mana yang lebih baik sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup?

Masalah sistem pemilu tidak ada yang terbaik untuk suatu negara. Yang penting itu adalah mencari sistem pemilu yang cocok dan pas untuk suatu negara. Sebelum putuskan itu, juga harus pas dengan instrumen yang lain. Misalnya sistem proporsional tertutup banyak keuntungan dengan fenomena politik Indonesia.

Dengan sistem proporsional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat para caleg.

Namun memang dikhawatirkan ada oligarki di elite partai. Kalau mekanisme ini memang mau diterapkan maka harus diterapkan dengan misalnya ada mekanisme demokrasi internal partai, seperti pemilu pendahuluan. Selain itu perlu ada transparansi keuangan partai.

Bagaimana dengan sistem proporsional terbuka?

Kalau terbuka, ternyata kompetisi internal tidak terkendali, akhirnya ada riset yang mengatakan tingkat korupsi naik karena harus mengembalikan modal kampanye. Tujuan pilih sistem mau apa, kalau memperkuat partai dan memperkuat penyelenggaran pemerintahan yang sederhana sistem tertutup itu realistis. Sekarang kita terbuka, tapi kenal nomor urut.

Kalau kembali ke sistem proporsional tertutup dikhawatirkan akan kembali ke Orde Baru?

Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa prasyarat. Kalau tidak nantinya ada oligarkhi. Meski dibilang tertutup bukan berarti publik tidak tahu. Tetap ada daftar caleg yang disampaikan ke KPU untuk diumumkan.

Ketika hari-H memang hanya memilih tanda gambar. Seperti pada tahun 1999 ada daftar calon di TPS. Merupakan sistem pemilu proporsional daftar tetap. Parpol mengeluarkan sejumlah nama, namun ketika hari-H hanya memilih tanda gambar partai. Dengan seperti ini nantinya partai nggak akan sembarangan menggeser orang. Ada daftar nomor urut dari partai.

Persoalan parliamentary threshold (PT) juga jadi perdebatan. Yang paling masuk akal sebenarnya berapa besarannya?

Semakin besar PT memang akan mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak berkaitan dengan besaran PT. Tujuan ada PT itu adalah ingin menyederhanakan partai dan jaga proporsionalitas.

Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka indeks ketidakproporsionalan makin tinggi. Besaran PT 2,5 persen itu sudah optimum untuk menjaga proporsionalitas.

Maksud fraksi diperketat?

Misalnya ada 5 partai yang sama-sama 20 persen, artinya tidak ada yang mayoritas. Nah sekarang semua partai boleh bikin fraksi. Sebaiknya ada aturannya misalnya harus memenuhi angka 30 persen, sehingga kalau kurang harus gabung. Ada penggabungan partai di fraksi, sehingga ada koalisi-koalisi di parlemen secara tidak langsung. Ini tentu akan berimplikasi ke stabilitas pemerintah.

Anda lihat nanti kemungkinannya akan ada voting di paripurna karena begitu alotnya perdebatan?

Secara per-UU voting itu nggak masalah. Namun hasil voting itu rentan gugatan dari pihak yang kalah karena ketidakadaan konsensus. Terbuka ruang gugatan, sehingga hal ini harus dipersipkan.

Karena di-dead line waktu dan semakin berlarutnya persoalan, maka sepertinya voting tak terhindarkan. Harapannya ada konsensus sesuai jadwal waktu, sehingga bisa berujung pada yang disepakati bersama.

Namun saya kira konsensus sulit sekali kalau lihat apa yang terjadi hari ini. Yang tidak legowo bisa ajukan gugatan, jadi setelah voting bisa jadi dihadapkan pada proses hukum.

0 komentar:

Posting Komentar